[Review] Little Women (2019)

Sinopsis: Pada tahun-tahun setelah Perang Saudara, Jo March (Saoirse Ronan) tinggal di New York dan mencari nafkah sebagai penulis, sementara saudara perempuannya Amy (Florence Pugh) belajar melukis di Paris. Amy memiliki kesempatan bertemu dengan Theodore (Timothée Chalamet), orang yang melamar Jo tetapi akhirnya ditolak. Kakak tertua mereka, Meg (Emma Watson), menikah dengan seorang guru sekolah, sementara saudari yang pemalu, Beth (Eliza Scanlen), menderita penyakit parah yang menyatukan kembali keluarganya.

Jo March, anak kedua dari empat bersaudara, sedang berbincang santai dengan adik dan kakaknya. Kakaknya, Meg sudah menikah dan memiliki 2 anak. Adiknya yang paling kecil, Amy, baru saja kembali dari Eropa setelah Beth, salah satu saudari mereka tertimpa tragedi. Jo bercerita bahwa ia ingin menulis sebuah novel. “Ceritanya hanya tentang kehidupan kecil kita,” ujarnya. Tapi, saudarinya Meg bertanya, “Siapa yang akan tertarik membaca cerita suka-duka berlatar domestik? Tidak ada yang menarik ataupun penting dari cerita seperti itu.” Meg tidak salah. Kenyataannya, sampai sekarang orang-orang lebih memilih melihat cerita fantasi heroisme daripada cerita drama lokal yang membosankan dengan tokoh utama perempuan. Amy, sang saudari kecil protes, “Mungkin, kita tidak melihatnya menarik ataupun penting karena tak ada yang pernah menceritakannya.”

Little Women, yang merupakan adaptasi ketujuh(!!!) dari novel klasik berjudul sama karya Louisa May Alcott mungkin memiliki cerita yang sedikit ketinggalan zaman. Tentu saja, novel aslinya terbit pada tahun 1868 dan berlatar di tahun yang sama. Jauh lebih lawas daripada gerakan feminis awal, suffragette, ataupun semacamnya. Namun, kisahnya tentang para perempuan remaja March, masih dianggap relevan sampai sekarang. Disaat para perempuan dianggap hanya bisa melakukan urusan domestik dan menikah, Little Women justru mendorong para perempuan untuk mengejar apa yang benar-benar mereka inginkan dan mengatakan bahwa impian mereka valid apapun itu. Di abad 19, kisah seperti itu sangat revolusioner dan masih terasa efeknya sampai sekarang sebagai salah satu karya feminis yang penting.

Sama dengan novelnya, Little Women berkisah tentang “kehidupan kecil” Jo March beserta ketiga saudarinya di Concord, Massachusetts. Kisah March Sisters dari remaja sampai menjadi dewasa, meskipun sudah disampaikan dalam format film sampai 7 kali, masih terasa segar. Sutradara Greta Gerwig yang namanya melambung berkat suksesnya Lady Bird, menyampaikan cerita Little Women yang familiar menjadi cerita modern yang terlihat baru dan modern. Dalam arahannya, Greta menyampaikan kisah Little Women dengan alur yang maju mundur dan terbagi di antara saat Jo dewasa dan saat ia kanak-kanak. Meskipun awalnya sedikit membingungkan untuk membedakan kedua timeline yang berbeda, Greta dengan cerdas menggunakan corak warna yang berbeda di keduanya. Di masa kanak-kanak, corak warnanya lebih hangat, warna-warni, dan cerah seolah-olah menunjukkan masa kanak-kanak yang indah. Sementara corak warna di masa sekarang lebih abu-abu, gelap, dan suram menunjukkan bahwa mereka sudah dewasa dan hidup tak seindah dulu.

Berbicara soal keindahan, keseluruhan film ini tak jauh dari kata tersebut. Latar Amerika disaat perang saudara digambarkan dengan cukup detail. Dari rumah sederhana sampai alam hijau dengan salju nan putih. Desain kostum tipa pemain juga tak kalah cantik dan sesuai dengan tokohnya masing-masing seperti Jo yang lebih tomboy daripada saudarinya yang lain. Kedekatan para pemain di setiap adegan juga berhasil ditangkap dengan baik oleh sinematografer Yorick Le Saux dan menghasilkan suasana hangat yang menenangkan hati.

BACA JUGA[Review] Birds of Prey

Dengan tokoh yang banyak, tentu saja cukup menantang untuk menyeimbangkan seluruh screentime dari tiap-tiap tokoh Little Women. Apalagi, film ini bertabur para bintang ternama seperti Laura Dern dan Meryl Streep. Walaupun masih lebih fokus kepada Jo, Greta berhasil menyeimbangkan seluruhnya dan semuanya mendapatkan perkembangannya masing-masing yang cukup.

Salah satu yang menarik adalah interpretasi toko Amy yang menjadi jauh lebih dewasa dan bijak. “Jangan berkata padaku kalau pernikahan bukanlah persoalan ekonomi,” ujarnya saat perempuan sulit mendapatkan uang sendiri untuk kehidupan yang layak. Amy mungkin memiliki talenta melukis. Tapi, ia sadar kalau ia hanyalah perempuan. Satu-satunya cara ia bisa menjadi kaya dengan mudah adalah dengan menikah dengan orang kaya, seperti saran dari Bibi March. Penggambaran Amy yang frustasi akan hal ini juga berhasil digambarkan dengan baik karena akting cemerlang dari Florence Pugh.

Selain Amy, yang tak kalah menarik adalah Jo. Interpretasi tokoh Jo dalam film ini justru lebih mendekati hidup sang pengarang asli Little Women, Louisa May Alcott daripada Jo yang di novel. Bagaimana bisa? Bagi yang tidak tahu, seluruh tokoh Little Women ini sebenarnya inspirasi dari keluarga dan kerabat Louisa sendiri semasa hidup. Dalam kehidupan nyata pun, ia juga menulis hanya untuk mendapatkan uang seperti Louisa sebelum menulis Little Women. Saat bukunya akhirnya diterbitkan, Jo (sama seperti Louisa), diminta penerbitnya untuk membuat tokoh utamanya menikah, ia awalnya menolak. Tapi akhirnya, ia pun menikahkan tokoh utamanya. Di film Greta ini, Jo tetap menikah sesuai dengan novelnya dan tokoh yang ia tulis. Namun, ada adegan lain yang ditambahkan Greta. Jo dapat melihat bukunya diterbitkan dan berhasil memegangnya dengan penuh cinta bagaikan pegangan tangan pria. Adegan ini cukup signifikan karena selain tetap setia dengan novel aslinya, Greta juga membuat endingnya sesuai dengan keinginan penulis dulu. Sekaligus, memvalidasi bahwa ending bahagia dari seorang perempuan tak hanya dengan cara menikah.

Little Women boleh saja sudah diadaptasi hingga ketujuh kalinya. Namun, Greta Gerwig membuktikan bahwa kisah klasik ini kekal dan masih relevan sampai berapa kalipun novel ini diadaptasi. Kisahnya yang mendorong perempuan untuk menentukan jalannya sendiri masih menginspirasi sampai sekarang. Berkat akting yang cemerlang dari para pemain dan penyutradaraan yang indah dari Greta Gerwig, Little Women pantas menjadi salah satu film terbaik di ajang Oscar kemarin.

Little Women dapat disaksikan di bioskop seluruh Indonesia mulai 7 Februari 2020

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 − 2 =